Gudang Narasi

Gudang Narasi Indonesia

Tiru Semangat Indonesia, Australia Terapkan Larangan Medsos Ketat dan Picu Kritik Massal

Tiru Semangat Indonesia, Australia Terapkan Larangan Medsos Ketat dan Picu Kritik Massal

GUDANG NARASI – Keputusan Pemerintah Australia untuk memberlakukan larangan total penggunaan media sosial bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun, yang disebut-sebut terinspirasi dari semangat regulasi perlindungan anak di Indonesia, segera memicu gelombang kritik dan protes keras di seluruh negeri. Aturan baru yang mulai efektif per 10 Desember 2025 ini menjadikan Australia sebagai negara pertama di dunia yang secara mutlak melarang akses media sosial seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan Facebook bagi anak-anak di kelompok usia tersebut.

Aturan Ketat ‘Ala’ Indonesia

Langkah drastis Australia ini mengingatkan pada upaya Pemerintah Indonesia yang lebih dulu meresmikan aturan pembatasan media sosial untuk anak pada Maret 2025 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Tunas (Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak). Meskipun Indonesia menerapkan pembatasan bertingkat berdasarkan kelompok usia (13–18 tahun) dan masih memperbolehkan anak diizinkan oleh orang tua untuk memiliki akun, semangat perlindungan dari risiko digital yang diusung oleh Canberra dinilai lebih ekstrem.

Di bawah aturan Indonesia, anak usia 16–17 tahun masih diperbolehkan mengakses platform berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua. Sementara Australia memilih jalur larangan mutlak tanpa pengecualian persetujuan orang tua, menjadikannya salah satu regulasi paling ketat di dunia. Perdana Menteri (PM) Australia, Anthony Albanese, menegaskan bahwa kebijakan ini adalah langkah krusial untuk melindungi generasi muda dari dampak buruk media sosial, seperti perundungan siber, kecanduan digital, dan gangguan kesehatan mental.

Gelombang Protes dan Pembangkangan Digital

Tidak lama setelah aturan tersebut diresmikan, media sosial langsung dibanjiri protes besar-besaran, terutama dari para remaja yang terkena dampak langsung. Dalam hitungan jam, platform-platform daring dipenuhi komentar-komentar yang menyatakan pembangkangan.

Bahkan, akun TikTok resmi PM Albanese menjadi sasaran. “Saya masih di sini, tunggu sampai saya bisa ikut memilih dalam pemilu,” tulis salah seorang remaja yang mengaku berusia di bawah 16 tahun, menggarisbawahi rasa frustrasi dan ancaman politik jangka panjang dari generasi yang hak digitalnya merasa dicabut.

Albanese menyadari gejolak awal ini. Ia merespons kritik dengan mengatakan bahwa setiap perubahan sosial dan budaya sebesar ini pasti akan memicu penolakan, namun ia yakin aturan ini pada akhirnya akan “menyelamatkan masyarakat.”

Kekhawatiran Hak Digital dan Sanksi Berat

Kritik tidak hanya datang dari kalangan remaja. Kelompok pendukung hak privasi dan organisasi yang membela hak anak juga menyuarakan kekhawatiran serius. Organisasi hak digital seperti Digital Freedom Project telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Australia, menyebut aturan ini sebagai “serangan yang tidak adil” terhadap kebebasan berpendapat. Mereka berargumen bahwa larangan mutlak ini melanggar hak komunikasi dan ekspresi remaja yang mungkin juga menggunakan platform tersebut untuk mencari dukungan sosial atau informasi yang penting.

Platform teknologi raksasa, termasuk YouTube dan Reddit, juga telah melayangkan kritik keras. Reddit, misalnya, menyebut undang-undang tersebut sebagai “kesalahan langkah yang fatal” dan menilai penerapannya pada forum berbasis teks yang mayoritas digunakan oleh orang dewasa adalah “sewenang-wenang dan cacat hukum.”

Meskipun demikian, pemerintah Australia bergeming. Aturan baru ini mewajibkan 10 raksasa media sosial untuk membatasi platform mereka dan tidak mengizinkan pengguna di bawah 16 tahun. Platform yang gagal mematuhi aturan ini akan dikenakan denda yang sangat besar, mencapai AUD $49,5 juta (setara dengan sekitar Rp 495 miliar).

Dukungan Orang Tua dan Masa Depan Regulasi Global

Di tengah badai kritik, kebijakan ini mendapat dukungan luas dari sebagian besar masyarakat Australia, dengan survei nasional menunjukkan 77% warga mendukung larangan tersebut. Para pendukung, termasuk orang tua, percaya bahwa larangan ini akan mendorong anak-anak untuk lebih banyak berinteraksi langsung di dunia nyata, menjauhkan mereka dari yang disebut Menteri Komunikasi Australia Anika Wells sebagai “kokain perilaku” bagi generasi muda.

Langkah Australia, meskipun kontroversial, dipandang sebagai preseden global. Banyak negara lain kini mengawasi ketat implementasi dan dampak sosial dari regulasi ini. Ahli internet dari Indonesia bahkan menyarankan agar Pemerintah Indonesia meniru ketegasan Australia untuk berani membatasi penggunaan media sosial demi melindungi generasi penerus, terlepas dari tekanan korporasi teknologi asing.

Australia telah memilih jalan tegas, menempatkan perlindungan anak di atas hak akses digital. Pertarungan antara regulasi pemerintah dan hak kebebasan digital kini memasuki babak baru, dan dunia menantikan apakah larangan total ini benar-benar akan menghasilkan “perbedaan yang besar” seperti yang dijanjikan oleh PM Albanese.