GUDANG NARASI – Aroma belerang dan suara lengkingan terompet yang biasanya mendominasi trotoar ibu kota setiap akhir Desember kini terdengar samar. Menjelang pergantian tahun 2025 menuju 2026, fenomena yang tidak biasa terjadi di berbagai pusat perdagangan atribut perayaan di Jabodetabek. Jika pada tahun-tahun sebelumnya para pedagang musiman sudah mulai tersenyum lebar melihat stok barang yang menipis, tahun ini mereka justru terjebak dalam kecemasan.
Di sepanjang jalan protokol maupun pasar tradisional seperti Pasar Asemka dan Pasar Depok Jaya, lapak-lapak berwarna-warni yang menjajakan terompet kertas, bando lampu LED, hingga berbagai jenis kembang api masih tampak penuh sesak dengan barang dagangan. Pembeli yang datang bisa dihitung dengan jari, menciptakan kontras tajam dengan keramaian pusat perbelanjaan modern yang tetap padat.
Jeritan Pedagang di Tengah Tumpukan Barang
Dafid, seorang pedagang musiman yang sudah menggelar lapaknya di Depok sejak pertengahan Desember, mengaku bahwa musim ini adalah salah satu yang terberat. Dengan raut wajah yang tampak lelah, ia merapikan barisan terompet naga buatannya yang belum satu pun terjual sejak pagi hari.
“Tahun ini penjualannya anjlok parah, mungkin sekitar 70 persen penurunannya kalau dibanding tahun lalu,” ujar Dafid saat ditemui di sela kesibukannya.
Ia menjelaskan bahwa biasanya, sepekan sebelum malam puncak, ia sudah bisa mengantongi keuntungan bersih jutaan rupiah. Namun, tahun ini, untuk sekadar menutup modal pembuatan terompet saja ia masih kesulitan.
Kondisi serupa dialami oleh Alwi di Jakarta Barat. Alwi yang mengkhususkan diri menjual kembang api berbagai ukuran mencatat bahwa pesanan dari tingkat RT atau RW yang biasanya menjadi langganan tetapnya kini menghilang.
“Biasanya pengurus lingkungan beli paket kembang api besar untuk dinikmati warga bersama. Sekarang mereka bilang tidak ada acara besar-besaran, jadi pesanan pun nihil,” keluhnya.
Analisis Penyebab: Regulasi dan Pergeseran Budaya
Ada beberapa faktor fundamental yang menyebabkan lesunya pasar atribut tahun baru kali ini. Pertama adalah kebijakan pemerintah yang semakin ketat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bersama dengan kota-kota penyangga seperti Depok dan Bekasi, secara tegas mengeluarkan imbauan larangan pesta kembang api di ruang publik. Kebijakan ini diambil demi menjaga ketertiban umum dan meminimalisir risiko kebakaran serta polusi udara yang kerap meningkat tajam setiap malam pergantian tahun.
Sebagai gantinya, pemerintah daerah lebih mendorong perayaan berbasis teknologi seperti video mapping di Monas atau pertunjukan ribuan drone di Bundaran HI. Hal ini secara otomatis memotong rantai permintaan kembang api fisik yang biasanya dibeli secara swadaya oleh masyarakat.
Kedua, adanya sentimen empati nasional. Mengingat sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya di kawasan Sumatra, baru saja dilanda bencana alam, pemerintah pusat mengeluarkan instruksi agar perayaan tahun baru dilakukan secara khidmat dan sederhana. Banyak warga yang akhirnya memilih untuk mengadakan doa bersama atau makan malam keluarga di rumah daripada turun ke jalan dengan atribut meriah.
Ketiga, faktor ekonomi dan daya beli. Meskipun indikator makroekonomi menunjukkan stabilitas, di tingkat akar rumput, masyarakat cenderung lebih selektif dalam pengeluaran. Terompet dan kembang api dianggap sebagai barang konsumtif yang “sekali pakai buang”. Dengan kenaikan harga kebutuhan pokok di akhir tahun, masyarakat lebih memilih mengalokasikan dana mereka untuk kebutuhan dapur atau biaya sekolah anak yang akan masuk semester baru di bulan Januari.
Harapan pada Detik-Detik Terakhir
Meski situasi terlihat suram, para pedagang tetap tidak kehilangan harapan sepenuhnya. Mereka masih menggantungkan nasib pada fenomena “deadliner” atau pembeli di menit-menit terakhir. Pengalaman tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa lonjakan pembeli sering kali terjadi justru pada sore hari tanggal 31 Desember, beberapa jam sebelum tengah malam.
Harga yang ditawarkan pun sebenarnya tidak mengalami kenaikan signifikan. Terompet kertas ukuran kecil masih dibanderol Rp15.000, sementara yang berbentuk naga atau karakter kartun berkisar antara Rp35.000 hingga Rp75.000. Untuk kembang api, harganya sangat variatif, mulai dari Rp10.000 untuk jenis air mancur kecil hingga ratusan ribu untuk jenis cake yang bisa menembakkan puluhan bola api ke udara.
Namun, jika hingga malam puncak nanti barang dagangan mereka tidak kunjung habis, para pedagang terancam merugi besar. Barang-barang seperti terompet kertas sangat rentan rusak jika disimpan terlalu lama di gudang karena pengaruh kelembapan udara.
“Kalau tidak laku ya terpaksa disimpan, tapi risikonya nanti jamuran atau warnanya pudar. Semoga saja besok ada keajaiban,” pungkas Alwi.
Fenomena lesunya lapak terompet ini menjadi cerminan bagaimana pola perayaan masyarakat mulai bergeser. Tahun baru kini tidak lagi selalu identik dengan kebisingan dan cahaya di langit, melainkan refleksi dan kesederhanaan di tengah kondisi yang penuh tantangan.










