GUDANG NARASI – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) resmi menetapkan bahwa mulai 1 Januari 2026, registrasi kartu SIM akan memasukkan opsi verifikasi biometrik pengenalan wajah (face recognition) sebagai bagian dari proses pendaftaran. Kebijakan ini diumumkan dalam beberapa pernyataan resmi dan talkshow publik yang digelar di Jakarta pada Rabu (17/12/2025).
Pada tahap awal, registrasi dengan biometrik wajah bersifat sukarela. Masyarakat yang membeli SIM baru masih tetap dapat memilih antara registrasi tradisional menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau metode baru berbasis verifikasi wajah. Sistem ini diterapkan sebagai masa uji coba hingga 30 Juni 2026 sebelum diwajibkan penuh mulai 1 Juli 2026.
Tahap Implementasi: Hybrid dan Wajib
Menurut Direktur Eksekutif ATSI Marwan O. Baasir, pada 1 Januari 2026 sampai 30 Juni 2026 akan diberlakukan sistem hybrid:
- Calon pelanggan dapat memakai cara lama (NIK ke 4444 atau metode serupa),
- Atau memilih biometrik wajah sebagai metode pendaftaran SIM baru.
Mulai 1 Juli 2026, seluruh pendaftaran SIM baru akan wajib menggunakan biometrik wajah tanpa opsi metode lama. Kebijakan ini hanya berlaku untuk pelanggan baru; pelanggan lama tidak diwajibkan melakukan registrasi ulang bila sebelumnya sudah teregistrasi dengan NIK.
Langkah transisi enam bulan ini dirancang agar masyarakat dan operator seluler punya waktu cukup menyesuaikan diri dengan teknologi baru, serta melakukan sosialisasi dan edukasi secara menyeluruh.
Alasan dan Tujuan Kebijakan
Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan registrasi SIM berbasis face recognition ini dimaksudkan untuk menekan angka kejahatan digital dan memperbaiki akurasi data pelanggan seluler di Indonesia. Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menyebut bahwa hampir seluruh modus kejahatan siber seperti scam call, spoofing, smishing, dan penipuan social engineering memanfaatkan nomor ponsel yang teregistrasi tidak akurat atau palsu.
Hingga September 2025, jumlah pelanggan seluler yang tervalidasi mencapai lebih dari 332 juta, tetapi laporan dari Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat ratusan ribu rekening terlapor penipuan dengan kerugian mencapai triliunan rupiah. Sementara itu, Indonesia juga mengalami puluhan juta spam call setiap bulannya, dengan rata-rata setiap orang menerima setidaknya satu telepon spam dalam seminggu.
Dengan menerapkan face recognition, pemerintah berharap bisa memutus mata rantai kejahatan digital tersebut dengan memastikan bahwa setiap SIM yang terdaftar benar-benar milik individu yang valid dan terverifikasi secara biometrik, bukan sekadar memakai data orang lain.
Selain itu, Komdigi menjelaskan bahwa kebijakan ini juga bertujuan untuk membersihkan basis data operator seluler. Di Indonesia tercatat lebih dari 310 juta nomor aktif, padahal jumlah populasi dewasa diperkirakan hanya sekitar 220 jutaan. Dengan validasi biometrik yang kuat, sinyal frekuensi seluler akan dimanfaatkan oleh pelanggan yang benar-benar sah.
Kesiapan Operator dan Teknologi
ATSI menyatakan bahwa operator seluler sudah siap menyambut penerapan sistem registrasi biometrik ini. Persiapan mencakup peningkatan infrastruktur dan integrasi teknologi face recognition dengan sistem pendaftaran pelanggan baru.
Beberapa operator bahkan telah melakukan uji coba registrasi dengan biometrik wajah di gerai dan platform digital mereka. Verifikasi ini bisa dilakukan baik melalui website resmi operator maupun melalui gerai fisik, khususnya untuk wilayah rural atau masyarakat yang menggunakan perangkat biasa (feature phone) yang tidak mendukung kamera canggih.
Diskusi Publik dan Tantangan
Meski disambut sebagai langkah strategis, kebijakan ini juga menuai beragam respons dari publik. Beberapa pihak mendukung kebijakan tersebut karena dinilai dapat memperkuat keamanan telekomunikasi nasional dan menekan kasus penipuan digital. Namun, ada pula kekhawatiran tentang privasi data wajah dan bagaimana data biometrik akan ditangani serta dilindungi dari potensi penyalahgunaan.
Pemerintah berjanji akan memperkuat sistem keamanan data, termasuk melalui kolaborasi dengan Ditjen Dukcapil Kemendagri serta standar teknologi yang tinggi untuk mencegah pemalsuan atau penyalahgunaan data biometrik.










