GUDANG NARASI – Pemerintah mengambil langkah tegas merespons rangkaian bencana hidrometeorologi yang melanda wilayah Sumatera dalam beberapa pekan terakhir. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kini tengah melakukan evaluasi besar-besaran terhadap perizinan 24 perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan di tiga provinsi utama: Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Langkah audit dan evaluasi ini dilakukan menyusul dugaan kuat bahwa aktivitas pembukaan lahan yang tidak sesuai aturan serta praktik pembalakan liar menjadi faktor utama yang memperparah dampak banjir bandang dan tanah longsor di wilayah tersebut.
Komitmen Pemerintah Terhadap Penegakan Hukum
Dalam keterangan persnya di Lanud Halim Perdanakusuma pada Senin (29/12/2025), Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan jajaran kabinet untuk tidak berkompromi dengan pelanggar hukum di sektor kehutanan.
“Kementerian Kehutanan sedang mengevaluasi perizinan sekitar 24 perusahaan yang membuka lahan di kawasan hutan, baik di Aceh, Sumatera Utara, maupun Sumatera Barat,” ujar Prasetyo. Menurutnya, evaluasi ini mencakup peninjauan ulang terhadap Izin Pemanfaatan Hutan (IPH), baik dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Analisis awal pemerintah menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem di wilayah hulu sungai telah mengurangi kemampuan alam dalam menyerap curah hujan ekstrem.
“Pembalakan liar, baik yang dilakukan oleh korporasi maupun perorangan, terindikasi kuat menambah dampak kerusakan dari bencana yang kita alami kemarin,” imbuhnya.
Fokus Wilayah dan Indikasi Pelanggaran
Evaluasi ini difokuskan pada titik-titik kritis di Sumatera yang mengalami kerusakan hutan paling parah. Di Sumatera Utara, misalnya, Ditjen Gakkum Kehutanan sebelumnya telah menyegel sejumlah areal konsesi milik beberapa perusahaan besar dan pemegang hak atas tanah yang diduga melanggar izin lingkungan di sekitar wilayah Batang Toru dan Tapanuli Selatan.
Beberapa poin utama yang menjadi fokus evaluasi Kemenhut meliputi:
- Over-capacity Penebangan: Apakah perusahaan menebang kayu melebihi kuota yang diizinkan.
- Pelanggaran Area Konsesi: Adanya dugaan pembukaan lahan di luar koordinat izin yang diberikan.
- Kepatuhan Rehabilitasi: Meninjau apakah perusahaan menjalankan kewajiban reboisasi pada lahan yang telah ditebang.
- Keterlibatan dalam Pembalakan Liar: Menelusuri aliran kayu-kayu gelondongan yang hanyut saat banjir, yang diduga berasal dari penebangan ilegal di dalam atau sekitar area konsesi.
Dampak Ekologis dan Kemanusiaan
Desakan untuk mengevaluasi izin perusahaan ini juga disuarakan oleh berbagai pegiat lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebelumnya menekankan bahwa sekadar penyegelan tidaklah cukup. Mereka menuntut pencabutan izin bagi perusahaan yang terbukti merusak daerah aliran sungai (DAS).
Bencana di akhir tahun 2025 ini memang tergolong masif. Ribuan warga harus mengungsi, dan infrastruktur publik mengalami kerusakan berat. Kayu-kayu gelondongan berukuran besar yang terbawa arus banjir bandang menjadi bukti nyata adanya kerusakan hutan di bagian hulu yang tidak lagi mampu menahan laju air.
Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, sebelumnya juga menyatakan akan membentuk tim khusus untuk menertibkan kawasan hutan dan memastikan tidak ada lagi “ruang gelap” dalam proses pemberian atau perpanjangan izin.
Langkah Selanjutnya
Jika dalam hasil audit ditemukan pelanggaran berat, pemerintah tidak segan untuk mencabut izin usaha perusahaan tersebut secara permanen. Selain sanksi administratif, korporasi yang terbukti melakukan perusakan hutan juga terancam denda pemulihan lingkungan serta sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Kehutanan dan UU Cipta Kerja.
Pemerintah juga berencana memperketat pengawasan melalui teknologi satelit dan patroli udara secara berkala untuk memastikan tidak ada lagi aktivitas ilegal yang luput dari pantauan.
“Tujuannya jelas, kita ingin memulihkan fungsi hutan sebagai pelindung kehidupan. Bencana ini adalah peringatan keras bahwa keseimbangan alam tidak bisa ditawar dengan kepentingan ekonomi jangka pendek,” pungkas Mensesneg.










