Gudang Narasi

Gudang Narasi Indonesia

China Kepung Taiwan: Latihan Tembak Langsung 10 Jam Kerahkan Kapal Serbu & Bomber

China Kepung Taiwan Latihan Tembak Langsung 10 Jam Kerahkan Kapal Serbu & Bomber

GUDANG NARASI – Eskalasi ketegangan di kawasan Asia Timur kembali mencapai titik puncaknya. Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) melancarkan latihan militer tembak langsung (live-fire drills) besar-besaran di sekitar Pulau Taiwan pada Selasa, 30 Desember 2025. Latihan intensif yang berlangsung selama 10 jam nonstop ini melibatkan alutsista tercanggih Beijing, mulai dari kapal serbu amfibi raksasa hingga pesawat pengebom strategis berkemampuan nuklir.

Latihan yang diberi sandi “Justice Mission 2025” ini disebut-sebut sebagai manuver militer terbesar yang pernah dilakukan China di sekitar pulau tersebut, melampaui skala latihan pasca-kunjungan Nancy Pelosi pada 2022 silam.

Simulasi Blokade Total dan Penghancuran Target

Berdasarkan keterangan resmi dari Komando Teater Timur PLA, latihan dimulai sejak pukul 08.00 pagi hingga pukul 18.00 waktu setempat. Fokus utama dari operasi ini adalah simulasi blokade pelabuhan vital dan penguasaan superioritas udara serta laut secara komprehensif.

China menetapkan lima zona larangan terbang dan pelayaran yang mengepung Taiwan dari berbagai arah: utara, selatan, timur, dan barat daya. Dalam durasi 10 jam tersebut, unit-unit tempur China melakukan berbagai skenario serangan, antara lain:

  1. Serangan Presisi Jarak Jauh: Penggunaan roket PCH-191 yang ditembakkan dari daratan China menuju sasaran di perairan lepas pantai Taiwan.
  2. Operasi Anti-Kapal Selam: Melibatkan helikopter Z-20 dan kapal fregat untuk melacak keberadaan ancaman bawah laut di perairan dalam sebelah timur pulau.
  3. Simulasi Penyerbuan Pantai: Pengerahan kapal serbu amfibi Type 075 yang mampu membawa ribuan personel dan puluhan helikopter.

Alutsista yang Dikerahkan: Dari Type 075 hingga H-6K

Kehadiran Kapal Serbu Amfibi Type 075 menjadi sorotan utama para analis militer. Kapal ini berfungsi sebagai “pangkalan terapung” yang dirancang khusus untuk invasi atau pendaratan di pulau-pulau. Dengan kemampuan mengangkut helikopter serang dan kendaraan lapis baja amfibi, pengerahan Type 075 mengirimkan pesan jelas mengenai kemampuan China dalam memproyeksikan kekuatan darat ke seberang selat.

Di udara, angkatan udara China mengerahkan pesawat pengebom strategis H-6K yang dikawal oleh jet tempur siluman J-20 dan pesawat peringatan dini. Pesawat-pesawat ini dilaporkan melakukan manuver melintasi garis tengah Selat Taiwan, memaksa angkatan udara Taiwan menyiagakan sistem pertahanan rudal mereka.

Respons Taiwan dan Masyarakat Internasional

Kementerian Pertahanan Taiwan (MND) mengutuk keras aksi tersebut dan menyebutnya sebagai “provokasi terang-terangan yang merusak stabilitas regional.” Taiwan melaporkan setidaknya 89 jet tempur dan 28 kapal perang China terdeteksi beroperasi di sekitar zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) mereka dalam satu hari saja.

“Militer kami memantau situasi dengan cermat dan telah menyiagakan pasukan darat, laut, serta udara untuk merespons setiap potensi ancaman terhadap kedaulatan kami,” tulis pernyataan resmi MND Taiwan.

Pihak Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri juga menyatakan keprihatinan mendalam. Latihan ini terjadi hanya berselang 11 hari setelah AS menyetujui paket penjualan senjata senilai USD 11,1 miliar ke Taiwan, yang mencakup sistem pertahanan udara jarak jauh dan radar canggih. Beijing secara terbuka menyatakan bahwa latihan “Justice Mission 2025” adalah “hukuman keras” atas kerja sama militer tersebut dan sebagai peringatan bagi “kekuatan separatis” di pulau itu.

Dampak Terhadap Jalur Logistik Dunia

Latihan ini tidak hanya berdampak pada keamanan militer, tetapi juga ekonomi global. Selat Taiwan merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Akibat zona tembak langsung yang ditetapkan China, setidaknya 11 rute penerbangan komersial dari Taipei harus dialihkan, berdampak pada lebih dari 100.000 penumpang. Kapal-kapal kargo internasional juga terpaksa memutar jauh untuk menghindari area latihan, yang berpotensi meningkatkan biaya logistik global di akhir tahun 2025.