GUDANG NARASI – Pasar komoditas global kembali dikejutkan oleh pergerakan signifikan dari sektor minyak nabati. Harga kontrak berjangka minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) melonjak tajam hingga mencapai level tertinggi dalam dua minggu terakhir pada perdagangan akhir Desember 2025. Kenaikan ini dipicu oleh data ekspor Malaysia yang tumbuh positif, memperkuat sentimen pasar di tengah kekhawatiran pengetatan pasokan global.
Berdasarkan data terbaru dari Intertek Testing Services (ITS), pengiriman produk minyak sawit Malaysia untuk periode 1 hingga 25 Desember 2025 mencatatkan kenaikan sebesar 1,6% secara bulanan (month-on-month). Meskipun angka persentase tersebut terlihat moderat, lonjakan permintaan dari India sebagai konsumen terbesar dunia menjadi faktor kunci yang menggerakkan harga.
India Jadi Penopang Utama
India melaporkan kenaikan impor minyak sawit dari Malaysia sebesar 66% dibandingkan periode yang sama pada bulan sebelumnya. Sebanyak 279.550 ton CPO telah dikapalkan ke Negeri Anak Benua tersebut. Analis pasar menilai lonjakan ini merupakan langkah antisipasi para penyuling di India untuk mengisi kembali stok mereka menjelang persiapan festival besar dan meningkatnya konsumsi rumah tangga di awal tahun 2026.
“Ekspor dipastikan akan terus meningkat seiring dengan permintaan musim perayaan yang mulai mengejar ketertinggalan,” ujar Gnanasekar Thiagarajan, kepala strategi perdagangan di Kaleesuwari Intercontinental.
Harga Menembus Level Psikologis
Di Bursa Malaysia, kontrak CPO untuk pengiriman Maret 2026 terpantau menguat signifikan. Harga sempat menyentuh angka di atas MYR 4.030 per ton. Kenaikan ini menandai pemulihan kuat setelah sebelumnya harga sempat bergerak fluktuatif akibat tekanan penguatan mata uang Ringgit.
Sentimen bullish ini juga didorong oleh proyeksi kebutuhan untuk perayaan Tahun Baru Imlek dan bulan suci Ramadan yang jatuh pada Februari 2026. Secara historis, kuartal pertama merupakan periode produksi rendah secara musiman (low crop season), sehingga kombinasi antara ekspor yang kuat dan penurunan produksi menciptakan ekspektasi pasar yang ketat.
Persaingan dengan Minyak Kedelai
Selain faktor internal Malaysia, kenaikan harga CPO juga mendapat dukungan dari penguatan harga minyak nabati pesaing. Harga minyak kedelai di bursa Chicago dan Dalian (Tiongkok) terpantau merangkak naik. Karena minyak sawit sering digunakan sebagai substitusi minyak kedelai, kenaikan harga kedelai secara otomatis meningkatkan daya tarik dan harga jual CPO di pasar internasional.
Saat ini, selisih harga (spread) antara minyak kedelai dan minyak sawit terus menyempit. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit mulai kembali kompetitif, memicu pembeli global untuk beralih kembali ke komoditas unggulan Asia Tenggara ini.
Tantangan Mata Uang dan Kebijakan Biofuel
Meski harga sedang berada di jalur hijau, para pelaku pasar tetap waspada terhadap penguatan mata uang Ringgit Malaysia yang mendekati level tertinggi dalam empat setengah tahun terakhir terhadap Dolar AS. Ringgit yang kuat dapat membuat harga CPO menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang asing, yang berpotensi membatasi laju kenaikan harga lebih lanjut.
Di sisi lain, kebijakan domestik di negara produsen juga menjadi sorotan. Indonesia, sebagai produsen sawit nomor satu dunia, terus mematangkan rencana mandatori biodiesel B50 pada tahun 2026. Jika pasokan dari Indonesia tersedot untuk kebutuhan energi domestik, maka peran Malaysia sebagai penyuplai pasar ekspor akan semakin krusial, yang diprediksi akan menjaga harga tetap stabil di level tinggi sepanjang tahun depan.
Proyeksi 2026
Dewan Minyak Sawit Malaysia (Malaysian Palm Oil Council/MPOC) memprediksi harga CPO akan tetap bertahan di kisaran MYR 3.800 hingga MYR 4.100 pada Januari 2026. Stok yang melimpah di Malaysia pada akhir tahun 2025 diprediksi akan mulai menyusut seiring dengan akselerasi ekspor dan penurunan produksi alami pohon sawit yang memasuki fase istirahat.










