Gudang Narasi

Gudang Narasi Indonesia

Tokyo-Beijing Memanas: Kisruh Politik Hantam Ekonomi Asia

Tokyo-Beijing Memanas Kisruh Politik Hantam Ekonomi Asia

GUDANG NARASI – Hubungan antara dua raksasa ekonomi Asia, China dan Jepang, dilaporkan telah mencapai titik terendah baru, memicu kekacauan yang meluas dari ranah diplomatik hingga ke pasar keuangan dan sektor riil. Eskalasi ketegangan dipicu oleh komentar kontroversial dari Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, mengenai isu Taiwan, yang segera direspons Beijing dengan langkah-langkah pembalasan ekonomi dan retorika politik yang keras.

Situasi yang oleh banyak analis digambarkan sebagai “instabilitas stabil” kini bergeser menjadi “kekacauan tak terkelola,” mengancam tidak hanya stabilitas bilateral tetapi juga prospek pemulihan ekonomi kawasan Asia Timur.

Awal Mula: Komentar Taiwan Picu “Badai” Diplomatik

Pemicu langsung dari krisis terbaru adalah pernyataan Perdana Menteri Takaichi di parlemen pada pertengahan November 2025, yang mengindikasikan bahwa Jepang dapat memobilisasi Pasukan Bela Diri (SDF) jika Republik Rakyat China (RRC) menggunakan kekuatan militer terhadap Taiwan. Meskipun para pendahulu Takaichi juga menyuarakan keprihatinan tentang Taiwan, pernyataan ini dipandang Beijing sebagai intervensi terang-terangan dan pelanggaran terhadap prinsip “Satu China”.

Respons China datang dengan cepat dan tegas. Juru bicara Kementerian Luar Negeri RRC mengutuk keras pernyataan tersebut, dan yang lebih mengkhawatirkan, Konsul Jenderal China di Osaka dilaporkan mengunggah pesan agresif di media sosial yang ditafsirkan oleh media Jepang sebagai ancaman kekerasan, bahkan seruan untuk ‘memotong leher’ bagi para pengkritik kebijakan Beijing. Diplomat senior China juga menyebut pembicaraan dengan delegasi Jepang di Beijing sebagai “solemn” (hikmat) yang mengindikasikan ketidakpuasan mendalam.

Dalam beberapa hari, krisis politik ini merembet ke tindakan konkret. Beijing mengeluarkan imbauan perjalanan (travel warning) dan peringatan keamanan bagi warganya yang berada di Jepang, bahkan mendesak warga China untuk mempertimbangkan kembali rencana studi di sana. Pemerintah China juga mengancam akan memasukkan perusahaan-perusahaan Jepang ke dalam “daftar entitas tidak tepercaya” yang dapat membatasi operasi bisnis mereka di pasar China.

Kerusakan Ekonomi: Sektor Pariwisata dan Ritel Ambruk

Dampak paling instan dan parah terasa di sektor ekonomi, khususnya pariwisata. Wisatawan China Daratan adalah kelompok turis terbesar di Jepang, menyumbang hampir 23% dari seluruh kedatangan wisatawan pada tahun 2025 dan menjadi pendorong pertumbuhan PDB.

  • Pembatalan Massal: Diperkirakan lebih dari 500.000 penerbangan dari China ke Jepang telah dibatalkan hanya dalam kurun waktu 15 hingga 17 November. Maskapai besar China menawarkan pengembalian dana penuh, dan sejumlah agen perjalanan telah menghentikan pemrosesan aplikasi visa.
  • Anjloknya Pasar Saham: Saham-saham perusahaan ritel dan pariwisata di Bursa Tokyo mengalami penurunan tajam, anjlok hingga 3% pada awal pekan, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap pendapatan yang hilang.
  • Proyeksi Kerugian: Nomura Research Institute memperkirakan bahwa boikot perjalanan dari China saja dapat menggerus setidaknya US$14,2 miliar (sekitar ¥2,2 triliun) dari perekonomian Jepang per tahun, yang akan memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut sebesar 0,36%.

Tak hanya pariwisata, China juga mengancam memberlakukan kembali larangan total impor makanan laut Jepang, sebuah sanksi yang baru saja dilonggarkan beberapa bulan lalu setelah isu pelepasan air limbah Fukushima.

Rantai Pasokan dan Ancaman Jangka Panjang

Jepang memiliki ketergantungan yang tinggi pada China, tidak hanya sebagai pasar ekspor, tetapi juga sebagai bagian vital dari rantai pasokan global. Industri utama Jepang, seperti otomotif, semikonduktor, dan elektronik, sangat bergantung pada komponen dan material dari China.

Para ahli memperingatkan bahwa jika ketegangan ini berlangsung lama, China dapat menggunakan pembatasan ekspor, termasuk mineral tanah jarang, sebagai alat tekan. Langkah ini akan memukul keras sektor industri Jepang. Perusahaan-perusahaan Jepang pun mungkin terpaksa mempertimbangkan kembali rute produksi dan pengadaan mereka di China, yang pada gilirannya akan memicu disrupsi rantai pasokan yang lebih luas di Asia.

Peringatan dari Dunia Usaha dan Upaya Redam Tensi

Melihat dampak yang mengerikan, kelompok bisnis terbesar Jepang, Keidanren, mendesak pemerintah untuk memprioritaskan stabilitas politik sebagai kunci utama keberlangsungan ekonomi. Pengusaha kecil seperti layanan perjalanan internasional di Jepang bahkan sudah “kebakaran jenggot” dan memohon agar situasi diplomatik segera diredam.

Sebagai upaya meredakan ketegangan, Tokyo telah mengirim diplomat senior ke Beijing. Namun, hingga saat ini, kedua belah pihak tetap pada posisi semula, menunjukkan sulitnya menemukan titik temu. Presiden China, Xi Jinping, dilaporkan “mengamuk” dan telah memperingatkan bahwa China tidak akan ragu mengambil tindakan balasan yang “tegas dan keras” jika Jepang “terus membuat kesalahan.”

Situasi ini menempatkan Jepang di persimpangan jalan: antara mempertahankan sikap tegasnya terkait keamanan regional (terutama isu Taiwan) dan melindungi kepentingan ekonominya yang vital dengan China. Seluruh kawasan kini menanti, khawatir bahwa kisruh kedua kekuatan ini akan mengguncang pondasi ekonomi Asia yang rapuh.