GUDANG NARASI – Pemerintah tengah mempertimbangkan kebijakan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu — terutama produk camilan dan minuman berpemanis dalam kemasan — sebagai bagian dari upaya mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL). Namun, kebijakan ini menghadirkan kekhawatiran baru: potensi kenaikan harga yang signifikan bagi konsumen, terutama bagi kelompok menengah ke bawah.
Latar Belakang Kebijakan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 membuka jalan bagi pengenaan cukai pada pangan olahan tertentu. Dalam Pasal 194, pemerintah menetapkan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam produk olahan; apabila melebihi ambang ini, produk tersebut bisa dikenakan cukai.
Implementasi tarif cukai ini dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi pangan tidak sehat dan menekan risiko penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas dan diabetes. Namun dampaknya bukan hanya pada kesehatan masyarakat: banyak pengusaha F&B (food and beverage) memperingatkan bahwa cukai dapat menaikkan harga jual akhir produk hingga 30 persen.
Proyeksi Kenaikan Harga
Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) memperkirakan bahwa pengenaan cukai pada minuman manis kemasan dapat meningkatkan harga konsumen hingga sekitar 30%.
Skenario ini menjadi nyata ketika beban tambahan cukai ditanggung oleh konsumen melalui harga lebih mahal. Produsen juga menghadapi dilema: menurunkan kandungan GGL (reformulasi) agar tidak kena cukai, atau mempertahankan racikan lama dan menyerahkan beban kepada pembeli. Gapmmi sendiri menyatakan tengah menyusun peta jalan reformulasi yang bertahap agar transisi tidak mengejutkan pasar.
Implikasi bagi Konsumen
-
Daya Beli Tertekan
Kenaikan harga camilan atau minuman manis bisa menyasar konsumen luas, termasuk mereka yang sudah memiliki anggaran terbatas untuk kuota belanja sehari-hari. Jika harga naik hingga 30 persen, banyak konsumen mungkin akan memangkas konsumsi atau memilih alternatif yang lebih sehat tapi mungkin lebih mahal atau tak sesuai selera. -
Ketidakpastian Industri
Sebagian produsen menyatakan kekhawatiran bahwa cukai akan mengganggu ekonomi bisnis mereka. Jika reformulasi tidak dilakukan, margin keuntungan menipis; tetapi reformulasi pun butuh waktu dan biaya. -
Kemungkinan Distorsi Pasar
Produk yang lebih sehat (dengan GGL rendah) bisa dijual dengan harga kompetitif jika tidak terkena cukai, sementara produk “tradisional” olahan tinggi gula, garam, atau lemak akan makin mahal. Ini bisa mendorong perubahan pola konsumsi, tetapi juga berpotensi menciptakan sektor pangan olahan yang terbagi dua — sehat dan mahal vs tidak sehat dan dikenai beban ekstra.
Tantangan Kebijakan dan Kritik
-
Resistensi Industri: Industri F&B tidak sepenuhnya menolak pengenaan cukai, tetapi menuntut pendekatan gradual dan reformulasi bertahap, agar tidak memberatkan produsen dan konsumen secara drastis.
-
Keadilan Sosial: Beban cukai mungkin lebih berat dirasakan oleh kelas menengah ke bawah, yang mengandalkan produk olahan murah sebagai bagian dari pola konsumsi sehari-hari.
-
Efektivitas Kesehatan: Meski cukai dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi GGL, efektivitasnya sangat bergantung pada reformulasi produk, edukasi masyarakat, serta alternatif makanan sehat yang terjangkau.
-
Pengawasan dan Implementasi: Menetapkan ambang GGL, mengawasi kepatuhan produsen, serta memastikan bahwa cukai dihitung dan dipungut secara adil adalah tantangan besar bagi otoritas.
Kondisi Makro: Pangan dan Inflasi
Meski isu cukai pangan olahan sedang hangat, pemerintah dan otoritas ekonomi memperlihatkan bahwa tekanan inflasi pangan masih didominasi komoditas strategis seperti cabai, daging, dan minyak goreng. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), komponen makanan dan minuman mencatat inflasi tinggi di awal 2025.
Sementara itu, menurut laporan Bank Indonesia, stok pangan strategis (seperti beras) cukup terjaga dan kebijakan operasi pasar terus dijalankan untuk menjaga stabilitas harga. Laporan fiskal Kementerian Keuangan juga menyebut bahwa volatilitas pangan (volatile food) relatif terkendali, meskipun risiko kenaikan harga tetap ada terutama menjelang momen permintaan tinggi.
Lembaga think tank INDEF juga menyyoroti bahwa meskipun harga beras telah menurun dalam jangka panjang, tekanan pada pangan olahan bisa menjadi beban tambahan bagi daya beli rumah tangga.










