Gudang Narasi

Gudang Narasi Indonesia

Viral Soal Bandara Morowali, Ternyata Ada Dua Bandara di Sana

Viral Bandara Morowali Ternyata Ada Dua Bandara Berbeda

GUDANG NARASI – Beberapa hari terakhir, jagat media sosial dan pemberitaan nasional di Indonesia ramai oleh unggahan yang menyebut keberadaan “bandara ilegal” di Morowali. Tagar, klaim, dan narasi beredar luas menyatakan bahwa ada bandara yang dibangun dan beroperasi tanpa pengawasan negara, memicu kekhawatiran soal kedaulatan, keselamatan, dan regulasi. 

Polemik makin membesar setelah kunjungan Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Pertahanan (Menhan), ke lokasi bandara milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Dalam kunjungan itu, terungkap bahwa bandara IMIP Private Airport beroperasi tanpa petugas dari institusi negara: tak ada bea cukai, tak ada imigrasi, tak ada pengamanan negara. 

Situasi ini membangkitkan keresahan publik: apakah ini celah besar dalam pengawasan nasional? Bagaimana dengan pendataan penerbangan, arus barang, maupun kedatangan tenaga asing ke kawasan industri?

Menjadi penting untuk meluruskan sebagian dari kegaduhan ini muncul akibat informasi yang belum diverifikasi, dan kenyataannya di Morowali terdapat dua bandara dengan status dan fungsi berbeda.

Dua Bandara di Morowali: Publik vs. Swasta

Bandara Morowali (Bandara Maleo) Bandara Publik

  • Bandara ini adalah bandara resmi milik negara, dikelola oleh sub‑unit dari Kementerian Perhubungan (Ditjen Perhubungan Udara).
  • Bandara Morowali inilah yang pernah diresmikan pada 23 Desember 2018 oleh Joko Widodo (Jokowi) bersamaan dengan pengembangan beberapa bandara di Sulawesi.
  • Memiliki kode bandara resmi: ICAO WAFO dan IATA MOH. Bandara ini dikategorikan sebagai bandara kelas III, melayani penerbangan domestik secara reguler.

Bandara ini umumnya melayani penerbangan reguler untuk warga, pekerja, logistik, dan kebutuhan transportasi umum. Sampai saat ini status dan operasionalnya relatif normal dan diakui negara.

MIP Private Airport Bandara Swasta / Khusus

  • Bandara ini berada di dalam kawasan industri PT IMIP, berbeda dengan bandara publik.

  • Memiliki kode ICAO WAMP dan IATA MWS. Statusnya sebagai bandara domestik non‑kelas, dikelola oleh swasta (PT IMIP), bukan Ditjen Udara.
  • Sesuai peraturan, bandara swasta bisa dipakai untuk kebutuhan tertentu seperti evakuasi medis, angkutan kargo, transportasi pekerja industri, atau penerbangan sewa/pribadi bukan penerbangan komersial reguler.
  • Namun, kontroversi muncul karena menurut kunjungan Menhan dan tim, tidak ditemukan petugas bea cukai, imigrasi, atau pengawasan negara sama sekali di lokasi bandara ini.
  • Hal ini dianggap sebagai “negara dalam negara” oleh sejumlah pihak karena bandara berfungsi independen dari pengawasan negara, memungkinkan lalu lintas manusia atau barang asing tanpa kontrol penuh.

Karena itulah, IMIP Private Airport yang sebelumnya nyaris tak pernah menyita perhatian publik sekarang menjadi sorotan besar terutama terkait keamanan, regulasi penerbangan, dan kedaulatan negara.

Polemik & Kontroversi: Ulasan dari Berbagai Pihak

  • Banyak unggahan di media sosial mengklaim bahwa bandara di Morowali yang “dibesarkan” sejak 2010‑an adalah bandara yang pernah diresmikan Jokowi namun klaim ini adalah misinformasi. Ternyata, bandara yang diresmikan adalah bandara publik milik negara, bukan bandara swasta milik IMIP.
  • Menurut PSI (Partai Solidaritas Indonesia), ada pihak-pihak yang sengaja memutarbalik fakta, mengaitkan bandara swasta dengan peresmian pemerintah.
  • Dari sisi pemerintah daerah, Anwar Hafid Gubernur Sulawesi Tengah menyatakan protes terhadap status “internasional” yang dialamatkan pada IMIP Private Airport. Dia menyatakan bahwa bandara di Palu seharusnya yang menjadi pintu masuk utama tenaga kerja asing, bukan bandara swasta IMIP.
  • Para pengamat dan peneliti regulasi penerbangan meminta agar ada penataan ulang dan pengawasan ketat terhadap bandara swasta seperti IMIP, agar tidak terjadi pelanggaran hukum, celah impor ilegal, atau lalu lintas manusia tanpa kontrol.
  • Implikasi keamanan dan kedaulatan negara menjadi sorotan utama karena jika bandara swasta bisa menerima penerbangan internasional tanpa kontrol bea cukai/imigrasi, bisa jadi pintu masuk asing tidak tercatat secara resmi.

Respon Resmi & Tindakan Pemerintah

Setelah polemik ini merebak, respons cepat datang dari berbagai pihak:

  • Pemerintahmelalui Kementerian terkaitmenegaskan bahwa bandara swasta seperti IMIP Private Airport memiliki regulasi sendiri, dan bisa melayani kebutuhan “tertentu”, bukan penerbangan komersial umum.
  • Namun, menyikapi temuan bahwa bandara tersebut beroperasi tanpa petugas negara, Menhan meminta dilakukan pengamanan dan pengawasan langsung; sejumlah unit TNI telah dikerahkan untuk mengawasi IMIP Private Airport.
  • DPR, aparat penegak hukum, serta lembaga terkait diajak untuk mengevaluasi regulasi terkait bandara swasta, terutama soal kewajiban kehadiran bea cukai, imigrasi, dan pengawasan agar tidak muncul “zona abu‑abu” yang berpotensi disalahgunakan.
  • Di sisi publik dan media, seruan untuk klarifikasi fakta kian mengemuka agar masyarakat tidak termakan misinformasi yang bisa membahayakan reputasi kawasan maupun investor.

Pelajaran dari Kasus Ini

Beberapa hal menyebabkan isu “dua bandara di Morowali” ini cepat viral dan memancing reaksi keras:

  1. Ketidaktahuan publik tentang status bandara banyak yang mengira ada satu bandara besar, padahal ada dua dengan status berbeda.
  2. Misinformasi dan klaim belum terverifikasi unggahan media sosial yang menyebut bandara swasta diresmikan presiden, tanpa cek fakta.
  3. Kekhawatiran soal kedaulatan, kontrol, dan keamanan bandara tanpa pengawasan dianggap bisa jadi celah masuk ilegal.
  4. Minimnya transparansi di zona industri/swasta publik tidak mudah mengakses informasi tentang perizinan, pengawasan, maupun aktivitas bandara swasta.

Regulasi yang belum secara eksplisit memperjelas peran & kewajiban bandara swasta hal ini membuka ruang interpretasi dan potensi penyalahgunaan.

Dari sini muncul pelajaran penting: di era informasi cepat dan media sosial, “viral” bisa berasal dari spekulasi sehingga sangat penting melakukan pengecekan fakta, menjaga transparansi, dan memastikan regulasi ditegakkan.