GUDANG NARASI – Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan pengumuman penting: mulai Desember 2025, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) akan dikerahkan untuk menjaga kilang-kilang minyak dan terminal strategis milik Pertamina. Langkah ini digambarkan sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dan akan dipantau oleh Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
Menurut Menhan Sjafrie, pengamanan instalasi strategis seperti kilang dan terminal Pertamina sangat krusial karena berkaitan dengan kedaulatan negara. Dalam pandangannya, kilang dan terminal minyak bukan sekadar aset ekonomi, tetapi bagian integral dari pertahanan nasional khususnya di era dinamis dan penuh risiko geopolitik.
Lebih jauh, Sjafrie menyatakan bahwa penugasan pasukan TNI AD untuk menjaga instalasi strategis tersebut sudah memiliki pijakan hukum yang kuat. Tugas ini digolongkan sebagai OMSP dan diatur dalam revisi Undang‑Undang TNI yang mencakup 14 pasal.
Skema Pelaksanaan dan Pengawasan
Dalam penjelasannya usai rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Sjafrie menyampaikan bahwa pengerahan batalion TNI AD tidak dilakukan secara sembarangan. Pasukan yang dikerahkan akan berada di bawah pemantauan langsung dari BAIS, guna mengidentifikasi dan mengantisipasi potensi ancaman, baik fisik maupun non-fisik.
Lebih detail, Sjafrie menjelaskan bahwa 150 batalion Teritorial Pembangunan (BTP) telah dibangun pada tahun ini, dan jumlah tersebut akan terus meningkat setiap tahun. Salah satu fungsi batalion ini adalah melakukan pengamanan terhadap infrastruktur strategis seperti kilang Pertamina.
Respon dan Tujuan Strategis
Menteri Pertahanan menegaskan bahwa penugasan pasukan TNI bukan untuk memperluas peran militer secara agresif, melainkan murni sebagai langkah menjaga keamanan nasional.
“Menjaga industri strategis … menyelamatkan kepentingan nasional,” kata Sjafrie. Ia menekankan bahwa keamanan ini sangat penting agar aset-aset vital milik negara bisa terus beroperasi secara optimal dan mendukung kemakmuran masyarakat.
Dari sisi hukum, Sjafrie menyebut bahwa revisi Undang-Undang TNI memberikan kerangka legal bagi tugas-tugas non-perang semacam ini. Dengan demikian, pengamanan kilang bukan tugas militer “konvensional” tetapi bagian dari misi yang lebih luas: mempertahankan stabilitas nasional dan industri strategis.
Implikasi Keamanan dan Ekonomi
Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah semakin serius dalam menempatkan industri energi nasional terutama Pertamina sebagai bagian dari pertahanan negara. Dengan adanya TNI AD di kilang-kilang dan terminal, potensi risiko gangguan fisik, sabotase, atau ancaman militan bisa diredam lebih baik.
Secara ekonomi, pengamanan yang lebih kuat diharapkan bisa menjaga kontinuitas produksi dan distribusi bahan bakar. Hal ini relevan mengingat Pertamina memiliki peran penting dalam penyediaan energi nasional. Jika kilang dan terminal terganggu, dampak bisa sangat besar bagi pasokan energi, harga BBM, dan stabilitas logistik dalam negeri.
Selain itu, dengan pemantauan dari BAIS, TNI dapat secara proaktif mengidentifikasi potensi ancaman intelijen yang mungkin muncul terhadap instalasi strategis ini. Ini bisa berkisar dari ancaman terorisme, spionase, hingga sabotase oleh aktor asing atau kelompok kriminal.
Tantangan dan Catatan Kritikal
Namun, rencana ini juga menyisakan sejumlah pertanyaan dan tantangan:
- Kapabilitas Pasukan
Apakah batalion Teritorial Pembangunan sudah siap dari segi pelatihan dan peralatan untuk mengamankan instalasi kilang dan terminal yang kompleks? - Sumber Daya Manusia
Penugasan TNI ke kilang berarti personel militer akan ditempatkan di fasilitas sipil. Bagaimana koordinasi antara Pertamina dan TNI agar integrasi tugas berjalan mulus tanpa mengganggu operasi perusahaan? - Kepentingan Sipil
Menempatkan militer di infrastruktur ekonomi dapat menimbulkan kekhawatiran publik terkait dominasi militer dalam sektor sipil. Perlu ada mekanisme transparan agar pengamanan tidak berubah menjadi kontrol militer terhadap aset negara. - Biaya Operasional
Penugasan prajurit, pemantauan intelijen, dan infrastruktur pendukung tentu menambah beban anggaran. Bagaimana pemerintah mengalokasikan biaya ini agar tidak membebani anggaran pertahanan secara tidak proporsional?










