Gudang Narasi

Gudang Narasi Indonesia

Ancaman Blokir ChatGPT di RI: Kominfo Soroti Data dan Regulasi PSE

Ancaman Blokir ChatGPT di RI Kominfo Soroti Data dan Regulasi PSE

GUDANG NARASI – Layanan kecerdasan buatan generatif paling populer di dunia, ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI, kini berada di bawah ancaman serius untuk diblokir di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) secara eksplisit memberikan peringatan keras kepada OpenAI karena dinilai belum memenuhi seluruh kewajiban yang disyaratkan oleh regulasi domestik, khususnya terkait perlindungan data pribadi dan status pendaftaran sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) asing.

Ancaman pemblokiran ini mencuat setelah Kominfo melakukan evaluasi periodik terhadap kepatuhan PSE asing yang beroperasi di wilayah hukum Indonesia. Juru Bicara Kominfo, Dr. Riana Setyawati, dalam konferensi pers di Jakarta, menegaskan bahwa meskipun teknologi AI sangat penting, kepatuhan terhadap hukum Indonesia adalah harga mati.

“Kami memberikan apresiasi terhadap inovasi seperti ChatGPT, namun kedaulatan data dan perlindungan konsumen di Indonesia harus menjadi prioritas utama. Sampai saat ini, ada beberapa aspek fundamental yang belum dipenuhi oleh OpenAI selaku pengelola ChatGPT,” ujar Dr. Riana, tanpa merinci batas waktu ultimatum yang diberikan.

Akar Masalah di Balik Ketegangan Kominfo vs ChatGPT

Ancaman pemblokiran ChatGPT didasarkan pada tiga pilar utama regulasi yang berlaku di Indonesia:

1. Status Pendaftaran PSE Asing

Isu utama yang menjadi sorotan adalah status pendaftaran ChatGPT sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, khususnya kategori PSE asing. Meskipun OpenAI telah melakukan pendaftaran di awal-awal tahun lalu, Kominfo menilai bahwa pendaftaran tersebut masih bersifat parsial dan belum mencakup seluruh aspek layanan, termasuk model bahasa yang digunakan dan operasional data di server yang melayani pengguna Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 (dan perubahannya), seluruh platform digital, baik lokal maupun asing, wajib mendaftar sebagai PSE. Kewajiban ini bertujuan agar Pemerintah memiliki yurisdiksi untuk menegakkan hukum dan melindungi kepentingan nasional, terutama terkait konten ilegal dan sengketa konsumen. Jika status pendaftaran dianggap tidak lengkap atau tidak valid, Kominfo memiliki kewenangan penuh untuk mencabut akses atau memblokir layanan tersebut.

2. Risiko Perlindungan Data Pribadi (PDP)

Alasan kedua dan yang paling krusial adalah ketidakjelasan dalam penanganan data pribadi pengguna Indonesia. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) mewajibkan setiap platform untuk menjamin keamanan dan kerahasiaan data pengguna, termasuk di mana data disimpan, bagaimana data diproses, dan bagaimana mekanisme persetujuan (consent) diperoleh.

Pakar Hukum Digital dari Universitas Indonesia, Prof. Bambang Prasetyo, menjelaskan bahwa model bisnis AI generatif seperti ChatGPT sering kali menggunakan input data pengguna untuk melatih modelnya. “Potensi kebocoran atau penggunaan data pribadi tanpa persetujuan yang jelas dan transparan sangat tinggi. Pemerintah menuntut jaminan teknis dan kebijakan yang lebih kuat dari OpenAI, terutama terkait data localization atau minimalisasi risiko transfer data ke luar negeri tanpa pengawasan,” kata Prof. Bambang.

Kominfo khawatir data sensitif pengguna Indonesia, mulai dari pertanyaan, preferensi, hingga data personal yang mungkin diinput, dapat dieksploitasi atau terpapar risiko keamanan siber di server luar negeri.

3. Konten Ilegal dan Penyebaran Informasi Keliru (Hoaks)

Meskipun bukan alasan utama, isu konten juga menjadi pertimbangan. Sebagai model bahasa yang sangat canggih, ChatGPT memiliki potensi besar untuk digunakan dalam pembuatan konten ilegal, malware, dan penyebaran informasi keliru (hoaks) secara massal dan cepat.

Pemerintah menuntut adanya mekanisme moderasi konten dan fitur pelaporan yang responsif dan efektif dari OpenAI agar dapat memfilter dan menindaklanjuti permintaan yang melanggar hukum Indonesia, seperti konten yang mengandung unsur SARA atau perjudian online.

Reaksi dan Konsekuensi Pemblokiran

Ancaman pemblokiran ini segera menimbulkan reaksi beragam. Kalangan profesional, akademisi, dan mahasiswa adalah pihak yang paling merasakan dampaknya. ChatGPT telah menjadi alat esensial untuk riset, pemrograman, dan peningkatan efisiensi kerja.

Fajri (24), seorang developer software di Jakarta, mengungkapkan kekhawatirannya. “Jika ChatGPT diblokir, produktivitas tim kami bisa turun drastis. Kami mengandalkannya untuk debugging kode dan merangkum literatur teknis. Saya berharap Kominfo bisa menemukan solusi regulasi tanpa harus mematikan inovasi,” ujarnya.

Di sisi lain, beberapa pihak mendukung langkah Kominfo sebagai upaya menegakkan kedaulatan digital. Mereka menilai bahwa tidak ada perusahaan teknologi asing yang boleh beroperasi di Indonesia tanpa mematuhi aturan main yang berlaku.

Masa Depan ChatGPT di Indonesia

Kominfo menyatakan bahwa mereka masih membuka ruang dialog dengan pihak OpenAI untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Solusi tersebut kemungkinan besar mencakup:

  1. Penyelesaian lengkap dan validasi ulang status pendaftaran PSE.
  2. Penandatanganan komitmen kepatuhan terhadap UU PDP, termasuk audit keamanan data eksternal.
  3. Implementasi fitur geografis untuk menyaring konten yang melanggar hukum Indonesia.

Dr. Riana menutup pernyataannya dengan harapan, “Kami ingin ChatGPT tetap beroperasi, asalkan beroperasi sesuai dengan hukum. Jika hingga batas waktu yang kami tentukan belum ada upaya kepatuhan yang memadai, kami tidak akan ragu untuk mengambil tindakan pemblokiran demi melindungi kepentingan masyarakat Indonesia.”

Masyarakat kini menanti langkah selanjutnya dari OpenAI dan Kominfo, mengingat ancaman pemblokiran ini dapat menjadi preseden penting bagi masa depan regulasi teknologi AI asing di Indonesia.